Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia memiliki hamparan terumbu karang dengan kuantitas yang cukup besar
yaitu sekitar 18 % terumbu karang dunia yang terdapat di sepanjang garis
pantai Indonesia. Sepanjang 95.181 km garis pantai yang menghampar dari ujung
barat hingga ujung timur menempatkan Negara tercinta kita ini diakui dunia
sebagai pemegang status garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah AS,
Kanada dan Rusia. Namun akibat dekatnya letak ekosistem terumbu karang dengan
garis pantai membuat ekosistem ini mengalami tekanan yang cukup berat dari
masyarakat pesisir setempat. Kegiatan penangkapan ikan menggunakan bom maupun
racun sianida merupakan contoh perbuatan tak bertanggungjawab yang sering
terjadi.
Berdasarkan penelitian dari P2O LIPI, hanya
tersisa sekitar 5,8 % dari seluruh hamparan terumbu karang Indonesia yang
berada dalam keadaan sangat baik. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan sebab
ekosistem terumbu karang memegang peranan penting dalam penyerapan karbon yang
merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global. Oleh karena itu, dengan
menyelamatkan ekosistem terumbu karang kita sekaligus menjamin keberlanjutan
bumi ini untuk masa depan.
Upaya penyelamatan dan rehabilitasi ekosistem
terumbu karang terus dilakukan baik oleh pemerintah, LSM maupun masyarakat
pesisir setempat. Banyak kisah sukses yang patut kita banggakan terungkap oleh
media, tetapi juga terkadang diiringi berbagai hambatan dan masalah. Namun,
semangat tersebut tak kunjung surut mengingat pentingnya menjaga kelestarian
ekosistem ini sebagai penentu masa depan kelautan Indonesia. Beberapa upaya
rehabilitasi terumbu karang yang telah dilakukan di Indonesia antara lain
adalah dengan mengembangkan teknik transplantasi karang, terumbu karang buatan,
maupun metode akresi mineral (biorock technology).
Biorock technology adalah suatu proses deposit elektro mineral yang berlangsung di dalam laut, biasanya disebut juga dengan teknologi akresi mineral. Teknologi ini dikembangkan Prof. Wolf H. Hilbertz seorang ilmuwan kelautan pada tahun 1974. selanjutnya sejak tahun 1988, prof. Wolf H. Hilbertz (Germany) bersama Dr. Thomas J. Goreau (AS) seorang ahli ekologi karang melakukan riset untuk mengembangkan lagi biorock technology dengan fokus pada perkembangbiakan, pemeliharaan dan restorasi terumbu karang serta struktur proteksi pesisir.
Biorock technology adalah suatu proses deposit elektro mineral yang berlangsung di dalam laut, biasanya disebut juga dengan teknologi akresi mineral. Teknologi ini dikembangkan Prof. Wolf H. Hilbertz seorang ilmuwan kelautan pada tahun 1974. selanjutnya sejak tahun 1988, prof. Wolf H. Hilbertz (Germany) bersama Dr. Thomas J. Goreau (AS) seorang ahli ekologi karang melakukan riset untuk mengembangkan lagi biorock technology dengan fokus pada perkembangbiakan, pemeliharaan dan restorasi terumbu karang serta struktur proteksi pesisir.
Penelitian mereka telah dilakukan di berbagai
belahan dunia termasuk Indonesia. Sayangnya kedua peneliti tersebut telah
meninggalkan kita, namun peninggalan konsep pemikiran mereka telah sangat
bermanfaat bagi perkembangan dunia rehabilitasi terumbu karang. Cara kerja dari
metode ini adalah melalui proses elektrolisis air laut, dengan meletakkan
dua elektroda di dasar laut dan dialiri dengan tegangan rendah 3,8 sampai 17
volt yang aman sehingga memungkinkan mineral pada air laut mengkristal di atas
elektroda.
Biorock memiliki struktur yang dibentuk dari
besi dialiri listrik tegangan rendah, mekanisme kimiawi terjadi ketika aliran
listrik tadi menimbulkan reaksi elecktrolityc yang medorong pembentukan mineral
alami pada air laut, seperti calcium carbonat dan magnesium hidroxyde. Pada
saat bersamaan perubahan elektrokimia mendorong pertumbuhan organisme disekitar
sturktur. Akibatnya ketika bibit karang ditempelkan pada struktur besi
tersebut, perumbuhannya akan lebih cepat terjadi. Berdasarkan konsep Biorock
ini, endapan CaCO3 dibentuk melalui reaksi listrik dari anoda dan katoda. Pada
konteks elektro kimia (electrochemistry), katoda adalah sambungan yang
mensuplai elektron ke ion pada larutan untuk mendorong suatu reaksi kimia
terjadi. Katoda dapat terbuat dari berbagai mineral yang menghantar listrik,
setelah beberapa kali uji coba, disarankan untuk menggunakan ram besi
non-galvanis. Sedangkan anoda adalah sambungan yang mengambil ion elektron dari
ion pada larutan dengan tujuan untuk memudahkan reaksi kimia terjadi.
Anoda dapat terbuat dari karbon, timah ataupun titanium.
Dilihat dari proses pembentukan deposit
mineralnya, mineral accretion bukanlah suatu reaksi oksidasi langsung seperti
elektroplatting, tetapi merupakan suatu proses yang tidak langsung, dimana
pengendapan mineral terjadi karena suatu hasil sampingan dari perubahan
pH di sekitar katoda ketika terjadi proses elektrolisis pada air laut. Ketika
klorin dan oksigen terkumpul di sekitar anoda, maka mineral magnesium dan
kalsium yang melimpah di air laut akan mengendap di katoda. Material yang
terdeposit sebagian besar terdiri atas kalsium karbonat yang secara struktur
kimia mirip dengan batu karang.
Daya larut produk merupakan hal yang sangat
berpengaruh pada proses deposit mineral, dimana daya larut produk adalah
konsentrasi maksimum dari zat untuk larut pada air. Pengendapan dan
keseimbangan dari CaCO3 dan Mg(OH)2 pada air laut sangat kompleks karena adanya
interaksi dengan ion dan senyawa lain. Konsentrasi dari Ca2+ dan CO32-
pada daerah di dekat permukaan air sebenarnya beberapa kali lebih besar dari
yang dibutuhkan untuk mengendapkan CaCO3.. Pengendapan menghambat ion dan
senyawa organik inilah yang menjadi alasan mengapa jumlah pengendapan CaCO3
tidak secara spontan terjadi. Sekali padatan CaCO3 terbentuk, bentuk ini tidak
akan berubah dengan kondisi yang sangat biasa. Mg(OH)2 tidak dapat
bertahan pada kondisi ini dan menjadi tidak stabil. Ada beberapa alternatif
sumber tenaga yang digunakan untuk menjalankan sistem ini, baik dengan
menggunakan pembangkit listrik tenaga matahari (solar cell), pembangkit listrik
tenaga pasang surut, generator, aki maupun listrik rumah tangga. Tenaga yang
digunakan adalah arus DC dengan kisaran antara 1-24 Volt. Pada
beberapa penelitian digunakan tegangan dengan kisaran 6-12 Volt.
Densitas yang digunakan untuk memberikan hasil yang terbaik sekitar 3 A per
m2 permukaaan katoda.
Elektrolisis dapat terjadi pada larutan yang
encer atau larutan garam. Situasi yang biasanya terjadi pada proses
elektrolisis adalah ekstraksi klorin dari air laut. Deposit mineral terbentuk
dengan proses sebagai berikut:
1. Ketika tegangan melewati
elektroda, maka katoda akan menjadi cukup negatif untuk menarik ion hidrogen
dari air laut dan menyumbangkan elektron untuk mengubah ion hidrogen menjadi
gas yang akan naik ke permukaan : 2e- + 2H+ H2
(gas)
2. Dengan semakin habisnya ion
hidrogen di sekitar elektroda, maka terjadi reaksi kimia :
H2CO3 H+ + HCO3- 2H+ +
CO32-
3. Pada saat ion hidrogen di dekat
katoda habis, berdasarkan prinsip Le Chatelier’s reaksi akan bergerak ke kanan
untuk membentuk ion H pada perairan. Hal ini juga akan
meningkatkan konsentrasi ion karbonat (CO32-) pada perairan. Pada akhirnya
konsentrasi ion CO32- semakin besar untuk membentuk reaksi: Ca2+ +
CO32- CaCO3 (solid)
4. Pengendapan kalsium karbonat di
atas katoda terjadi ketika tingkat kelarutan dari Ca2+ dan CO32- melebihi
keadaan untuk dapat larut pada cairan. Endapan kalsium karbonat ini disebut
juga aragonite, merupakan endapan keras, kuat dan hampir tak dapat larut.
Pengendapan dari CaCO3 adalah pengendapan pertama yang terjadi ketika tegangan
rendah. Ketika tegangan pada katoda meningkat maka reaksi lain mulai
mendominasi.
5. Ketika ion hidrogen di sekitar
katoda berubah menjadi gas hidrogen, daerah di dekat katoda menjadi kehabisan
ion H dan sesuai dengan hukum kesetimbangan kimia maka ini akan meningkatkan pH
di daerah sekitar katoda membuat larutan menjadi basa. Reaksi yang
terjadi:
H2O + 2OH- H+ + OH-
H2O + 2OH- H+ + OH-
Kegiatan ini dipelopori oleh “Karang
Lestari Pemuteran” bekerjasama dengan dive shop, pengelola hotel,
restoran, para nelayan dan para ilmuan yang memilki kepedulian tinggi terhadap
kelestarian terumbu karang. Struktur Biorock yang dipasang di Pemuteran
berjumlah 22 struktur dengan bentuk yang sama seperti struktur yang ada di
pulau Kwadule, Kuna Yala, Panama. Struktur ini ditempatkan pada kedalaman 120
kaki.
Biorock di Pemuteran Bali memiliki tingkat
keberhasilan paling tinggi dari 19 negara lain yang juga menerapkan metode
biorock ini, oleh karena itu Biorock di Pemuteran telah 5 kali meraih
penghargaan baik lokal maupun internasional. Kunci keberhasilan Biorock di
Pemuteran Bali tak diragukan lagi ialah karena keterlibatan dari berbagai pihak
terutama masyarakat sekitar terutama kelompok nelayan dan Pecalang laut (polisi
desa adat). Fakta ini merupakan suatu sinyal baik dalam usaha melestarikan dan
merehabilitasi ekosistem terumbu karang Indonesia yang termasuk dalam segitiga
karang dunia. Dan usaha ini membutuhkan peran serta dari seluruh pihak yang
ingin bumi ini selalu lestari. Mari bersama kita menyelamatkan teumbu karang,
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar